Tuyul dalam Kacamata Marxis
Tulisan ini
berawal dari perdebatan di ruang kuliah yang belum tuntas dan kemudian
berlanjut di warung kopi. Kala itu di kelas filsafat, perdebatan bermula ketika
dosen menyampaikan materi tentang filsafat ontologi, salah seorang teman saya
bertanya tentang eksistensi makhluk halus, bagaimana kepercayaan terutama dalam
masyarakat Jawa yang kental dengan
hal-hal berbau klenik dapat di jelaskan secara ilmiah dalam perspektif
ontologi. Namun keterangan yang disampaikan dosen tidak bisa memuaskan hasrat
kami, malah apa yang disampaikan cenderung menutup dialog lebih lanjut. Pak
dosen mengatakan yang intinya bahwa dalam masyarakat modern yang sangat
positivistik sudah tidak lagi memiliki ruang untuk hal-hal yang bersifat mistik,
pembahasan tentang segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah
atau berada diluar ranah rasional dan empirik merupakan pekerjaan yang sia-sia,
nonsense. Bahkan diakhir pak dosen menantang kami untuk menghadirkan
"Tuyul" saat itu juga atau siapa pun yang pernah melihat langsung dan
dapat memberikan bukti empiris maka pada saat itu juga beliau akan percaya akan
eksistensi tuyul. Benar saja, sekelas menjadi hening, kami yang notabennya
adalah mahasiswa baru tidak ada yang bisa membantah, hanya mengangguk dan
senyum-senyum sendiri. Sebagian mungkin masih ada yang grundel, bagaimana mungkin kepercayaan turun temurun
dari nenek moyang dianggap nonsense, hampa tanpa arti dan omong kosong,
tapi begitulah kenyataannya di zaman ini sudah tidak ada tempat lagi untuk
ihwal per-tuyulan, apa lagi bagi generasi milenial yang sedang gandrung dengan
teknologi.
Akhirnya
penjelasan tentang eksistensi Tuyul saya dapatkan dari diskusi di warung kopi,
bahwa ada hubungan korelatif antara Tuyul dan Karl Marx. Dalam hal ini saya
akan coba uraikan. Sebelumnya
hubungan antara Tuyul dengan Karl Marx pernah dibahas oleh sejarawan Indonesia,
Onghokham.
Jangan dulu
memikirkan teori-teori rumit marxis atau membayangkan tiga jilid buku Das
kapital-nya Karl Marx yang baru dilihat saja sudah bikin pusing kepala. Kita
mulai dulu dari Tuyul sebagai setan atau hantu dan kepercayaan mistis dalam
tradisi masyarakat Jawa. Kita sering mendengar pepatah Jawa mengatakan "mangan
ora mangan sing penting kumpul", pepatah ini menggambarkan kehidupan
komunal masyarakat Jawa yang sangat sosialis. Ketika salah seorang menjadi kaya
raya maka akan ada kasak kusuk di antara masyarakat "mesti wong iku
duwe tuyul!". Tuyul oleh orang Jawa digambarkan sebagai dedemit yang
berwujud anak kecil, tidak menakutkan, malah disenangi, karena tuyul sangat
menyukai uang, terutama yang bukan milik majikannya. Tuyul mengumpulkan uang
dari orang lain yang kemudian disetorkan ke majikannya, yang dalam sekejap
menjadi kaya raya!. Maka orang itu sudah dianggap keluar dari komunal
masyarakat, sudah tidak sosialis lagi, dia menjadi kapitalis.
Jika
dihubungkan dengan marxis, tuyul adalah apa yang disebut Karl Marx sebagai
penyebab polarisasi kelas, ketimpangan ekonomi antara si miskin dan si kaya,
antara mereka yang punya tuyul dan mereka yang hanya angon wedhus, para
proletariat alit. Dalam pandangan marxis, borjuis pemilik modal (tuyul) akan
menguasai alat produksi yang kemudian mengambil keuntungan sebesar-besarnya
dari apa yang dihasilkan oleh pekerja. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin
tambah melarat.
Lebih lanjut,
untuk memperjelas lagi konteks dari asal mula munculnya tuyul, coba kita tarik
kembali kepada kondisi masyarakat Jawa pada masa kolonial. Jelas bahwa
penjajahan Belanda di atas tanah Jawa sangat menyengsarakan rakyat pribumi,
terutama dengan adanya kebijakan sistem pajak tanah dan tanam paksa. Dalam
sistem pemerintahan Hindia-Belanda, pihak Belanda mendistribusikan
kekuasan kepada bangsawan pribumi, baik
di tingkat desa sampai ke kabupaten. Pejabat pribumi (inland bestuur) yang
termasuk dalam binenland bestuur (departemen dalam negeri)
disebut Pangreh Praja (pemangku Kerajaan) yang dikenal dengan sebutan Priyayi.
Di tingkat
desa, kepala desa tidak diangkat maupun digaji oleh pemerintah. Mereka dipilih
langsung oleh rakyat dan digaji oleh rakyat pula melalui tanah desa (tanah
bengkok) yang diserahkan kepadanya selama menjadi kepala desa. Dari situ banyak
dari pejabat pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk menghisap rakyat dengan
mengeksploitasi hasil panen dan beban pajak yang memberatkan untuk menumpuk kekayaan
Masyarakat Jawa
menjunjung tinggi budaya “sindiran”. Mereka menyebut kekayaan itu berasal dari
tuyul yang ia pelihara. Singkat kata, majikan yang bermandi uang dengan cara
mengemplang jerih payah orang lain, dalam bahasa Marx bisa disebut juga sebagai
kapitalis.
Onghokham
menafsirkan bahwa kepercayaan orang Jawa terhadap "Tuyul" tersebut
merupakan ungkapan bahwa kekayaan orang tertentu tidak memiliki legitimasi.
Kekayaan itu diperoleh melalui teken kontrak dengan demit.
Jadi
kepercayaan mistis tentang tuyul atau apa pun itu bukanlah seusuatu yang omong
kosong, tetapi adalah hasil dari abstraksi mbah-mbah kita tentang
realitas sosial yang terjadi dan kritiknya terhadap tindakan eksploitasi yang
dilakukan oleh kolonialisme.
Penulis: Iqbal Faza Ahmad (kader
PMII Rayon Wisma Tradisi FITK UIN Sunan Kalijaga)
Komentar
Posting Komentar