|
Friedrich Nietzsche |
Tulisan
ini saya mulai dengan narasi singkat tentang bagaimana saya berkenalan atau
lebih tepatnya mengakrabkan diri dengan mereka. Hampir delapan tahun
saya megenyam pendidikan pesantren yang serat akan doktrin agama, berbagai ilmu
telah saya pelajari mulai dari ilmu umum, ilmu bahasa, sampai dengan
pokok-pokok ajaran dasar keagamaan, fikih dan akidah, tapi bukan berarti saya
sudah menguasi bidang keilmuan tersebut. Singkat cerita setelah lulus dari
pesantren saya melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi islam di Jogja,
disanalah titik awal pertemuan. Tidak ada hal baru yang saya rasakan diawal
perkuliahan, materi-materi kuliah, yang diajarkan tidak jauh berbeda, bahkan
lebih ringan dari yang dulu saya pelajari di pesantren, jadi saya tidak
menemukan kesuliatan dalam mengikuti perkuliahan. Namun ada satu mata kuliah
yang menarik, filsasat. Filsafat menjadi hal baru dan menarik untuk saya
pelajari, mempertanyakan hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang tidak perlu
lagi untuk dibahas, memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam menalar, mempelajari
tokoh-tokoh yang tidak pernah saya dengar namanya. Pada intinya filsafatlah
yang mengantarkan saya pada mereka.
Mereka,
para pembunuh Tuhan. Predikat pembunuh
tidak saya sematkan begitu saja pada diri mereka, bahkan diantara mereka ada
yang mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai pembunuh Tuhan. Tentu bagi
kalangan agamawan pembunuhan merupakan hal yang sangat dilarang, dalam beberapa
agama mengklasifikasikannya ke dalam perkara dosa besar, namun bagaimana dengan
membunuh Tuhan? Dalam tradisi filsafat barat perkara Tuhan atau agama merupakan
hal yang berada diluar kemampuan akal pikiran manusia, agnostik, sehingga
pembicaran terkait dengan Tuhan tidak memiliki arti apapun, terlebih agama
memilik sejarah yang buruk dalam memonopoli kehidupan dan cara berpikir
pemeluknya. Tapi bukan berarti agama tidak memiliki tempat dalam masyarakat
barat, Immanuel Kant salah seorang penggagas diskursus agama dalam filsafat
mengungkapkan bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau dengan akal tapi bukan berarti
ia menolak Tuhan, hanya saja akal manusia lah yang terbatas tidak dapat
menjangkau Tuhan, dan agama penting bagi manusia oleh karena itu sediakan ruang
untuk Tuhan tapi terpisah dari rasionalitas manusia.
Diskursus
Tuhan dalam filsafat biasanya dihadapkan dengan dua problem, pertama adalah
persolan apakah Tuhan dapat dibuktikan secara rasional, yang kedua persosalan apakah
keimanan merupakan suatu yang rasional. Problem yang kedua sudah banyak dibahas
dan bisa untuk dipecahkan sampai tuntas, bahwa keimanan merupakan suatu yang
rasional dengan reasoning setiap manusia tidak bisa hidup tanpa sandaran.
Problem yang pertama lebih sukar untuk dituntaskan, meskipun sudah banyak
argumen yang menjelaskan rasionalitas tentang Tuhan tapi semua argumen tersebut
terbantahkan. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas kedua persoalan secara
menyeluruh, tapi hanya akan sedikit menyentuh kedua problem tersebut, dan
mungkin pembahasan ini tidak menarik bagi kalian.
Berbeda
dengan tradisi filsafat di timur, filsafat barat cenderung skeptis bahkan anti
terhadap agama atau pun Tuhan. Banyak pemikir besar dari barat yang pengaruhnya
masih bisa kita rasakan sampai saat ini yang menolak Tuhan, bahkan membunuhnya!
Berikut saya buatkan daftar para pembunuh Tuhan yang bagi sebagian orang meraka
adalah pahlawan:
Pertama,
Ludwig Andreas von Feuerbach seorang filsof dan antropolog asal Jerman. Feurbach
tidak secara terang-terangan menolak akan eksistensi Tuhan, malah sebaliknya ia
menganggap dirinya sebagai seorang yang religius. Namun apalah arti
penolakannya tersebut jika dalam praktiknya, pengertiannya tentang religius
adalah pengertian ateisme sehari-hari. Pendapatnya tentang agama adalah
kesadaran tentang yang tidak terhingga. Karena itu agama "tak lain
daripada kesadaran akan ketidakterbatasan kesadaran, dalam kesadaran akan yang
tidak terhingga, atau, dalam kesadaran tentang yang tidak terhingga, subyek
yang sadar obyeknya adalah ketidakterbatasan dari hakikatnya sendiri."
Jadi Allah tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia
sendiri. Semua merupakan proyeksi
hakikat manusia, misalnya kuasa, kreatif, baik, kasih sayang, dll. Namun
sayangnya manusia lupa bahwa proyeksi tersebut adalah dirinya sendiri. Karena
proyeksi tersebut sangat sempurna, manusia
menganggap proyeksi tersebut memiliki eksistensi sendiri, kemudian takut
dan menyembahnya. Mereka lebih memilih berdoa dan meminta kepada proyeksi
tersebut dari pada merealisasikan hakikatnya. Pada akhirnya agama mengasingkan
manusia dari dirinya sendiri.
Kedua,
Karl Marx, mungkin tidak sedikit yang sudah mengenal sosok Marx,
meskipun hanya sekedar pernah mendengar namanya. Di samping kritik tajamnya
terhadap kapitalisme dalam bukunya Das Kapital, pendapatnya terhadap agama juga
cukup menarik untuk dibicarakan, “ agama adalah candu”. Kritiknya terhadap
agama tidak lepas dari kritik terhadap keadaan masyarakat kapitalis. Marx
mengkritik Feurbach bahwa ia lupa akan alasan mengapa manusia tiba-tiba
memproyeksikan citra Tuhan dalam diri manusia, Marx berpendapat bahwa
keadaaanlah yang menjadikan manusia melakukan hal tersebut, karena dalam
masyarakat kapitalis manusia tidak bisa untuk mewujudkan hakikatnya. Agama
lebih sering digunakan sebagai obat penenang untuk memberi harapan kepada
mereka yang miskin dan tertindas bahwa di kehidupan setelah kematian ada
kehidupan yang lebih baik, agama selalu digunakan sebagai kontrol sosial untuk
melanggengkan kelas penguasa. Marx percaya bahwa agama akan memudar dengan
sendirinya dengan lahirnya komunisme, keyakinan akan Tuahan dan agama akan
lenyap, “surga akan lahir di muka bumi”.
Ketiga,
Friedrich Wilhelm Nietzsche seorang filsuf dan ahli filologi yang
meneliti teks-teks kuno dan juga di kenal sebagai “Sang pembunuh Tuhan”.
Nietzche dalam karyanya Also sprach
Zarathustra yang sangat provokatif mendeklarasikan kematian Tuhan,”Tuhan
sudah mati, dan kita telah membunuhnya..” Tuhan mati saat manusia sadar
ternyata mereka-lah yang “menciptakan” Tuhan, bukan sebaliknya. Dengan matinya
Tuhan mati pula ide-ide dan kebenaran-kebenaran universal. Bagaiman Tuhan mati?
Ia mati dibunuh manusia dengan pencerahan dan sains pengetahuan yang mampu
menjelaskan segalanya. Dengan demikian terbukalah horizon seluas-luasnya bagi
segala energi kreatif untuk berkembang. Tidak ada lagi kecengangan
trasendental, tidak ada lagi manusia pengecut yang melarikan diri dari dunianya
dengan berlindung dibawah naungan Allah.
Keempat,
Sigmund Freud seorang ahli dalam bidang ilmu psikologi yang dikenal
dengan teori psikoanalisanya. Psikologi yang
seharusnya bisa menjadi penguat keimanan seseorang akan keberadan Tuhan, karena
psikologi adalah penjelajahan dunia batin manusia, semakin seseorang mengenal
dirinya saharusnya semakin pula mengenal Tuhannya. Namun ditangan Freud
psikologi menjadi pondasi untuk menolak keberadaan Tuhan, ber-Tuhan baginya
adalah suatu “kegilaan”. Melalui
agama manusia ingin melindungi diri dari segala macam ancaman dan penderitaan,
namun perlindungan itu hanya ilusi. Tuhan tidak benar-benar melindungi, hanya
diinginkan melindungi. Mengharapkan apa yang diinginkan dapat terpenuhi adalah
ciri-ciri anak-anak, sama halnya dengan pemeluk agama, Freud menyebutnya ilusi
infantil. Agama membuat manusia lumpuh dengan harapan-harapan palsu dan
sekarang mereka berada dalam kegilaan masal.
Keempat tokoh diatas adalah para
pemikir abad 19 dimana modernisasi mulai merasuki berbagai aspek kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya pengingkaran terhadap ihwal metafisik, Positivisme
logis.
Jean
Paul Sartre berada dalam urutan terakhir daftar
ini. Satre adalah seorang eksistensialis kenamaan di awal abad 20,
karya-karyanya dalam bidang sastra sangat berpengaruh baik di Prancis maupun
dunia. Filsafat eksistensialisme Sartre menihilkan Tuhan. Yang manusia butuhkan
bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk
memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali
dirinya sendiri. Dalam pengertian ini Sartre berani mengatakan bahwa
eksisitensialisme itu optimistis, bukan ajaran untuk menarik diri dari dunia
ramai dan mengurung diri dalam kesunyian, masuk dalam pertapan untuk menemukan
ketenangan batin melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam
dunia nyata, dunia manusia, bukan dunia Tuhan. Pemikiran Sartre eksistensi
manusia mendahului esensinya menandaskan akan adanya Tuhan, bahwa dengan
mematikan Tuhan maka manusia akan memiliki kebebasan untuk menentukan jati
dirinya.
Selain kelima “pembunuh” di atas
sebenarnya masih ada beberapa nama lagi yang layak saya masukan dalam daftar
tersebut, tapi saya kira cukup.
Uraian
singkat masing-masing tokoh diatas cukup mempelihatkan bagamiana pandangan
mereka tentang problem ke-Tuhan-an, yang bagi kita para “pemeluk agama”
merupakan perkara yang sudah final dan tidak boleh diperdebatkan lagi.
Tentu
bagi seorang bijak, kebijaksanaan bisa berasal dari apa dan siapa pun bahkan
dari orang gila sekali pun. Begitu pula dengan bagaimana seharusnya seorang
mahsiswa sebagai kaum terdidik terlebih sebagai seorang muslim mampu mengambil
hikmah dari buah pikiran para tokoh yang itu berlawanan dari apa yang menjadi
keyakinannya. (13/5/18)
Wallahu
a`lam bishawab...
Oleh: Iqbal Faza Ahmad
(Filsafat Ilmu Marsigit)
judulnya menarik kak
BalasHapus