Kritik Akal Budi Murni: Kritisisme Pemikiran Immanuel Kant (Filsafat Ilmu Marsigit)

          Oleh: Iqbal Faza Ahmad Sejauh perkembangan pengatahuan manusia tidak bisa dilepaskan dari pengalaman manusia itu sendiri. Indra manusia menangkap kesan yang ditampilkan objek yang berada di sekitarnya. Dari objek-objek tersebut kemudian menghasilkan representasi, sebagian membangkitkan kekuatan pemahaman menjadi aktivitas, membandingkan dan menghubungkan, atau memisahkan. Konversi kesan yang ditangkap indra menjadi sebuah pengetahuan disebut sebagai pengalaman. Kritisisme kant dapat dianggap sebagai suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mendasarkan unsur apriori dalam pengenalan, unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Adapun empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, yang berarti unsur-unsur dari pengalaman (seperti locke yang menganggap rasio sebagai lembaran putih). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme adalah berat sebelah. Immanuel Kant memulai dengan sebuah pertanyaan yang tidak bisa langsung dija

KRITISISME IMMANUEL KANT



KRITISISME IMMANUEL KANT
Oleh : Iqbal Faza Ahmad

Immanuel Kant
PENDAHULUAN
Pada abad ke-18, yang lazim disebut enlightenment age, orang harus memilih salah satu diantara dua semangat filosofis yang berlawanan secara paradigmatik. Kedua filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme.
Immanuel kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih baanyak berbicara tentang filsafat moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara filsafat rasionalisme dan empirisme. Akan tetapi, usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme logis dan idealisme. Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat sebelum kritisisme harus dianggap dogmatisme sebab filsafat itu percaya sepenuhnya pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan terlebih dahulu.

PEMBAHASAN
A. Biografi Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant. Setelah itu, ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, tetapi pada tahun 1730-1740 perdangangan di Königsberg mengalami kemerosotan. Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan. Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.
Kant menempuh pendidikan dasar di Saint George’s Hospital School, kemudian melanjutkan ke Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist. Keluarga Kant memang penganut agama Pietist, yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci. Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan di University of Königsberg dan mempelajari tentang filosofi, matematika, dan ilmu alam. Untuk meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat selama tujuh tahun dan pada masa itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan pertanyaan ilmiah.
Pada tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah ilmiah dengan berbagai macam topik. Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada tahun 1770. Kant meninggal pada tanggal 12 Februari 1804 dalam usia 80 tahun. Pemakamannya dihadiri para sahabat dan tamu terhormat. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman samping gereja induk di kota kelahirannya di Königsberg.

B. Kritisisme
            Aliran ini dimulai di Inggris, Perancis, dan menyebar ke seluruh Eropa, terutama Jerman. Di Jerman, pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah, siapa yang sebenarnya dikatakan sebagai sumber pengetahuan ? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiris? Kant mencoba menyelesaikan persoalan tersebut. Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme,(Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerima karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme terkandung skeptisme. Untuk itu, dia tetap mengakui kebenaran ilmu dan dengan akalnya, manusia dapat mencapai kebenaran empirisme. Aliran filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Dia mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dengan kritisisme. Secara harfiah kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman dan kepercayaan.
            Alasan Kant menggabungkan kedua faham yang berseberangan, yaitu rasionalisme eropa yang teoritis, a priori, sesuai rasio, dan terinspirasi oleh Plato, serta empirisme Inggris yang berpijak kepada pengalaman, a posteriori, dan terinspirasi oleh Aristoteles. Kant beranggapan kedua paham tersebut sama baiknya dan bisa digabungkan untuk mencapai hal yang sempurna. Apesteriori menurut istilah adalah menunjukkan sejenis pengetahuan yang dapat dicapai hanya dari pengalaman, maka dari itu pengetahuan dapat dirumuskan hanya setelah observasi dan eksperimen. Lawan dari a priori. Apriori digunakan, kontras dengan aposteriori, unutk mengacu kepada kesimpulan-kesimpulan yang diasalkan dari apa yang sudah ditentukan, dan bukan dari pengalaman. Apriori berarti tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Kant sebenarnya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya.[1]
            Adapun ciri-ciri kritisisme diantaranya adalah:
1.      Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek;
2.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejala atau fenomenanya saja.[2]
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsure “a priori” (sebelum di buktikan tapi kita sudah percaya) yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur “aposteoriori” (setelah di buktikan baru percaya) yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

C. Tujuan Filsafat Kritis
            Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri sebjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dai pengalaman saja. Ternyata empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetap melaui idealisme subjektif yang bermuara pada suatu skeptisme yang radiakal. Dalam hal ini, Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah pertama, bersifat umum dan mutlak dan kedua adalah memberi pengetahuan baru.
Salah satu tujuan filsafat kant yang disebut sebagai filsafat kritis, dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental, bahwa pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran, adalah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia.
Berikut pemaparan kritik terhadap rasionalisme, empirisme dan kombinasi antara keduanya;
1.      Kritik terhadap Rasionalisme
Ada tiga macam kritik yang dilontarkan kant, yaitu sebagai berikut:
a)   Critique of pure reason (kritik atas rasio murni). Kritisisme kant dapat dianggap sebagai suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Adapun empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, yang berarti unsur-unsur dari pengalaman (seperti locke yang menganggap rasio sebagai lembaran putih). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme adalah berat sebelah. Dia  berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpaduan antara sintesis unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.
Walaupun sangat mengagumi empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan konsekuen, Kant tidak dapat menyetujui skeptisme yang dianut Hume dengan berkesimpulan bahwa dalam ilmu pengetahuan, kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada masa Kant, ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar. Kant mengadakan suatu revolusi filsafat. Dia berkata bahwa dia ingin mengusahakan suatu “revolusi kopernikan”, yang berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan Copernicus dalam bidang astronomi. Dahulu, para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri pada objek. Kant mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjek. Sebagaimana Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikian juga Kant memperlihatkan  bahwa pengenalan berpusat pada subjek, bukan pada objek.
b)   Critique of partical reason (kritik atas rasio praktis). Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant adalah rasio murni. Akan tetapi, disamping rasio murni terdapat rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memeperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah mutlak yang disebut sebagai imperatif kategori. Kant kemudian bertanya,”bagaimana `keharusan`itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu?” Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini adalah, kalau kita harus, kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya  dan ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya, Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat tersebut yaitu kebebasan kehendak, imoralitas jiwa dan adanya Allah.
c)    Critique of jugment atau kritik atas daya pertimbangan sebagai konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” adalah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud ciritique of jugment ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Filsafat bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau filsafat bisa berfat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (seni). Pengalaman estetis itu diselidiki dalam bagian pertama bukunya, Kritik der Astheschen Urteiilskraft.
        Dengan finalitas yang bersifat objektif, dimaksudkan adanya keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian kedua, yaitu Kritik de Theoligischen Unteilskraft. Kant terdorong untuk menggagas metode filosofisnya karena alasan yang sama dengan alasan Descrates. Ia bertanya  hati, “ mengapa ilmu-ilmu lain maju pesat, tetapi metafisika tidak demikian ?”. Bentuk lain dari kritik terhadap rasionalisme adalah sebagai berikut:
1)      Pengetahuan rasional dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat atau diraba. Eksistensi tentang ide itu yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu belum dapat dilakukan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh, terdapat perbedaan pendapat yang nyata diantara kaum rasionalis itu sendiri mengenai perkembangan dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato, St. Augustine, dan Descrates masing-masing mengembangkan teori-teori rasional yang berbeda.
2)      Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh, merasa bahwa mereka menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional pada masalah kehidupan yang prakis. Kecenderungan terhadap abstraksi dan kecenderungan dalam meragukan serta menyangkal sahnya pengalaman keindraan telah dikritik habis-habisan. Kritikus yang terdidik biasanya mengeluh bahwa bahwa kaum rasionalis memperlakukan ide atau konsep seakan-akan sebagai benda yang objektif. Menurut mereka, menghilangkan nilai dari pengalaman keindraan, menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan, lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samar-samar, sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan.
3)      Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama itu. Banyak ide yang sudah pasti ada pada suatu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, ide bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.
2.      Kritik Terhadap Empirisme
a)    Empirisme didasarkan pada pengalaman, tetapi apakah yang disebut pengalaman ?
b)   Sekali waktu, dia hanya berarti rangsangan panca indra. Pada waktu yang lain, dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritikus kaum empiris menunjukan bahwa fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Fakta itu pun tidak menunjukan hubungan diantara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis “pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistemasis.
c)    Sebuah teori yang sangat menitiberatkan persepsi pancaindra melupakan kenyataan bahwa pancaindra manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindra kita sering menyesatkan dan hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan yang untuk membedakan antara khayalan dan fakta.
d)   Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan, tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indra yang tak terputus-putus.
3.      Kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme
Terdapat suatu anggapan yang luas, bahwa ilmu pada dasarnya dalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang, terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian ini karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan pengamatan dan mempergunakan data indrawi. Walaupun demikian, analisis yang mendalam terhadap metode keilmuwan akan menyingkap kenyataan bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.[3]

KESIMPULAN
            Filsafat Immanuel Kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.

REFERENSI
Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Cet. IV(dengan revisi), Yogyakarta: Kanisius. 1995.
Mahendra ,Tri, dkk Kritisisme Immanuel Kant.[pdf], (http://eprints.dinus.ac.id/14389/1/%5BMateri%5D_FILSAFAT_IMMANUEL_KANT.pdf, diakses tanggal 13 oktober 2015).


[1] Mahendra ,Tri, dkk Kritisisme Immanuel Kant.[pdf], (http://eprints.dinus.ac.id/14389/1/%5BMateri%5D_FILSAFAT_IMMANUEL_KANT.pdf, diakses tanggal 13 oktober 2015).
[2] Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2010,hal 88
[3] Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2010,hal 89-91.

Komentar